Sikap Pertengahan Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam Perkara Aqidah
Bersama Pemateri :
Syaikh Dr. Muhammad Hisyam Thahiri
Sikap Pertengahan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Perkara Aqidah adalah tabligh akbar yang disampaikan oleh Syaikh Dr. Muhammad Hisyam Thahiri dan diterjemahkan oleh Ustadz Abu Ya’la Kurnaedi, Lc. pada Ahad, 22 Muharram 1446 H / 28 Juli 2024 M.
Tabligh Akbar Tentang Sikap Pertengahan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Perkara Aqidah
Sebagai contoh, jika kita berbicara tentang buah, ada buah yang belum matang dan ada buah yang busuk. Pertengahan antara keduanya adalah buah yang matang sempurna.
Lafadz “wasathiyah (الوسطية)” dalam bahasa Arab memiliki akhiran huruf “ي” dan “ة”. Dalam ilmu shorof, ini disebut masdar sinai, seperti lafadz “rububiyah” dan “uluhiyah”. Maksud dari lafadz wasathiyah di sini adalah perbuatanmu dan muamalahmu yang adil, dan engkau melakukan bagi dirimu tentang sifat pertengahan ini.
Makna Ahlul
Wasathiyah (sikap adil pertengahan) ini disandarkan kepada Ahlus Sunnah. Lafadz “Ahlul” memiliki tiga makna. Pertama, bermakna istri dan anak-anak sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
…إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab [33]: 33).
Ahlul Bait di sini maknanya adalah keluarga Nabi, yaitu istri Nabi dan anak-anaknya.
Makna kedua dari “Ahlul” adalah orang yang memiliki keahlian tentang sesuatu. Dia memiliki kelayakan dan keahlian dalam sesuatu hingga mencapai derajat kesempurnaan. Seseorang dikatakan ahli dalam sesuatu artinya dia adalah orang yang berhak dan memang layak untuk mengemban tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Makna ketiga, dan inilah yang diinginkan dari pembahasan kita saat ini, adalah al-ashab. Seperti dalam perkataan “Ahlul Kahfi” artinya Ashabul Kahfi. Maka “Ahlus Sunnah” artinya adalah Ashabus Sunnah, yaitu orang-orang yang memiliki kelayakan untuk membawa, mengemban dan menyebarkan sunnah.
Tanda yang paling penting pada Ahlus Sunnah adalah mereka jauh dari bid’ah. Mereka adalah orang-orang yang istiqamah di atas Sunnah dari sisi aqidah, perkataan, amalan, dan akhlak.
Lafadz “Ahlus Sunnah” disambungkan dengan lafadz “Al-Jamaah” karena lafadz “Ahlus Sunnah” merupakan sifat agama, sedangkan lafadz “Jamaah” merupakan sifat bagi duniawi.
Makna Sunnah
Sunnah memiliki empat makna yang sudah dikenal di kalangan para ulama. Pertama, menurut ahli fiqih, sunnah adalah perkara yang mustahab, yaitu perkara yang disukai dan dianjurkan. Orang yang melakukannya mendapatkan pahala, sementara yang tidak melakukannya tidak berdosa. Namun, makna ini bukan yang dimaksud dalam pembahasan kita sekarang.
Kedua, sunnah sebagai sumber pensyariatan bagi fiqih Islam. Makna ini banyak disebutkan dalam ushul fiqih, tetapi ini juga bukan yang dimaksudkan dalam kajian kali ini.
Ketiga, sunnah adalah hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang dikenal oleh ulama hadits. Namun, makna ini juga bukan yang dimaksud dalam pembahasan kita.
Keempat, dan inilah makna yang dimaksudkan dalam pembahasan kita, sunnah adalah keyakinan, jalan, dan manhaj yang dijalani oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, para sahabat, para tabi’in, dan para imam yang diridhai.
Termasuk dalam bab ini adalah apa yang datang dari kalangan Salafus Shalih, dari tabi’ut tabi’in hingga zaman kita sekarang. Para ulama menamakan kitab-kitab tentang masalah akidah dengan nama sunnah. Contohnya adalah kitab As-Sunnah karya Abdullah bin Imam Ahmad. Misalnya lagi kitab As-Sunnah yang ditulis oleh Al-Imam Al-Muzani, murid dari Al-Imam Syafi’i, yang juga guru dari Imam Ath-Thahawi. Di antara yang menulis kitab yang disebut dengan As-Sunnah adalah Al-Khallal dan Al-Lalika’i. Inilah maksud dari pembahasan kita.
Dan diatas hal inilah kita memahami sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
مَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى
“Barangsiapa yang membenci sunnahku, dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maksud “sunnahku” di sini adalah manhajku atau jalanku.
Ini juga yang dimaksud dalam hadits Irbadh bin Sariyah, yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, dan beliau mengatakan hadits Hasan Shahih. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي
“Wajib atas kalian memegang sunnahku.”
Makna Al-Jamaah
Makna jamaah dalam bahasa Arab adalah sifat bagi kaum yang berkumpul. Jamaah yang dimaksud di sini adalah manhaj yang berada diatasnya para sahabat bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebelum terjadi perpecahan dalam agama. Dari sini, dapat dipahami bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mereka yang berjalan dalam keyakinan dan amalan di atas perkara yang sudah disepakati sebelum adanya perselisihan dalam masalah akidah, ibadah, dan lainnya.
Hal ini juga dipertegas oleh perkataan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, yang mengatakan bahwa Jamaah itu adalah kebenaran, walaupun engkau sendiri. Artinya, jika engkau berada di atas jalannya para sahabat, maka engkau berada di atas jamaah, walaupun engkau sendiri.
Dalam sebagian kitab-kitab akidah disebutkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang adil dan pertengahan. Jamaah di sini artinya jamaah agama, yang orang-orang datang belakangan menyusul orang-orang yang sebelumnya, mereka sama dari sisi aqidah yang telah disepakati sebelum adanya perbedaan atau perpecahan.
Makna kedua dari sifat jamaah adalah manusia-manusia yang berkumpul di bawah pemerintahan tertentu. Di mana pun mereka berada, ketika ada seorang hakim atau pemimpin dan orang-orang Islam berkumpul di bawah kekuasaannya, mereka bersama dengan hakim tersebut saling bantu-membantu dan tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Mereka juga disebut jamaah selama mereka tidak memberontak. Ini adalah makna yang kedua dari jamaah.
Diatas hal inilah, dibawanya sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dalam hadits Hudzaifah yang terdapat dalam Shahih Muslim, Hudzaifah Radhiyallahu ‘Anhu berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapat engkau apabila terjadi perselisihan dalam masalah agama?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Lazimilah jamaah kaum Muslimin.” Maksudnya adalah tetaplah bersama pemimpin mereka dan kaum Muslimin yang berada di bawah kepemimpinannya.
Dua makna tersebut ditunjukkan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpegang teguhlah kalian semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (QS. Ali Imran [3]: 103)
Imam Asy-Syatibi Rahimahullah menamakan kitabnya yang di dalam kitab itu beliau memberikan peringatan kepada kaum Muslimin dari bahaya bid’ah, nama kitab beliau adalah Al-I’tisham yang dibangun di atas makna ayat ini.
Tanda Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Setelah mengetahui makna Ahlus Sunnah wal Jama’ah, kita masuk ke inti materi tentang tanda-tanda Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Tanda pertama adalah mereka berpegang teguh kepada kitab dan sunnah dengan sikap adil, pertengahan dan pilihan (tidak berlebihan dan tidak meremehkan).
Dalam pandangan ilmiah terhadap Qur’an dan Sunnah, manusia terbagi menjadi dua kelompok: mereka yang berlebihan dan mereka yang meremehkan. Adapun Ahlus Sunnah berada di tengah-tengah antara keduanya. Ada manusia yang disebut dengan dhahiriyah (الظاهري), mereka memahami nash dari makna dzahir tanpa melihat makna lainnya dari nash yang ada. Kebalikan dari mereka adalah orang-orang yang tidak melihat kepada dzahirnya nash, tetapi memahami nash-nash dengan pemahaman yang menyimpang dan mentakwilkan nash-nash tersebut untuk makna-makna yang sangat jauh, yakni makna-makna batin.
Contoh Perbedaan Sikap
Contoh perbedaan antara sikap adilnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan kelompok-kelompok lain yang memegang dzahir nash saja dan juga dengan kelompok yang memahami nash dengan pemahaman bathiniyah.
Contohnya ketika memahami hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Di mana saja kamu berada, kamu bisa menghadapkan wajahmu ke kiblat.”
Sebagian dari mereka berkata bahwa antara timur dan barat ada kiblat. Sehingga dimana saja seseorang berjalan, dia bisa menghadapkan wajahmu ke kiblat. Pendapat ini jumud.
Sebaliknya, ada kelompok lain yang memahami hadis ini dengan makna batin yang sangat jauh, mengklaim bahwa hadits ini menunjukkan bahwa di mana saja mereka berada, mereka dapat mendapati Allah Subhanahu wa Ta’ala di hati mereka.
Padahal, hadits tidak menunjukkan kepada kedua makna di atas. Hadits ini sebenarnya menunjukkan bahwa bagi orang yang berada di Madinah, bahwa kiblat mereka antara timur dan barat maksudnya adalah kiblat mereka tetap ke Ka’bah. Hadits ini juga mencakup orang-orang yang tidak tinggal di Madinah, agar mereka menghadapkan diri ke Ka’bah, walaupun berada di sebelah timur, utara, selatan, atau barat.
Contoh lain adalah sikap pertengahan Ahlus Sunnah wal Jama’ah ketika berpegang teguh pada nash-nash, baik secara dzahir maupun makna di baliknya. Ahlus Sunnah mengatakan bahwa nama-nama Allah semuanya husna. Makna husna adalah tidak jumud, ia memiliki makna yang besar dan yang indah. Sebagaimana firman Allah:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا
“Dan Allah memiliki nama-nama yang indah (Asmaul Husna), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya itu.” (QS. Al-A’raf [7]: 180)
Berdasarkan hal ini, Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandang bahwa ketika menjelaskan makna Al-Musa’ir (Yang Menggenggam), mereka tidak bersikap jumud. Lafadz Al-Musa’ir adalah khobar mengandung makna sifat, bukan sebuah nama (ismiyah), karena nama Allah tidak diambil dari makna yang jumud. Makna Al-Musyair di sini tidak mencakup makna yang sempurna.
Jika kita melihat kepada Ibnu Hazm Az-Zahiri yang menjadikan Al-Musa’ir sebagai nama Allah karena dia mengambil makna secara dzahirnya saja. Sebaliknya, ada kelompok bathiniyah yang menamakan Allah dengan nama-nama sekehendak mereka, tanpa terkait atau tidak memakai lafadz yang ada dari Al-Qur’an atau Sunnah. Misalnya, mereka menamakan Allah dengan “Sang Kekasih” atau “Yang Dirindukan”.
Dengarkan dan Download Tabligh Akbar Tentang Sikap Pertengahan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Perkara Aqidah
Podcast: Play in new window | Download
Jangan lupa untuk turut menyebarkan kebaikan dengan membagikan link download tabligh akbar ini ke Facebook, Twitter, dan Google+ Anda. Semoga Allah Ta’ala membalas kebaikan Anda semua.
Pencarian: agama islam, agama islam, agama islam, agama islam, agama islam, agama islam, agama islam, agama islam, agama islam, agama islam, agama islam, agama islam, agama islam, agama islam, agama islam, agama islam, agama islam, agama islam, agama islam, agama islam, ceramah agama islam, ceramah agama islam singkat, ceramah agama islam mp3, kumpulan ceramah agama islam, artikel agama islam, pidato agama islam, video ceramah agama islam, islam agama sesat, tausiah agama islam, ajaran agama islam, dakwah agama islam, islam agama, kebenaran agama islam, ceramah singkat agama islam, pengajian agama islam, tausiyah agama islam, kumpulan pidato agama islam, video agama islam, ilmu agama islam, pelajaran agama islam, contoh ceramah agama islam, kumpulan ceramah agama islam singkat, ceramah agama islam terbaru, makna agama islam, info agama islam, kepercayaan agama islam, pengetahuan agama islam
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54320-sikap-pertengahan-ahlus-sunnah-wal-jamaah-dalam-perkara-aqidah/